06/09/04 - Lain-lain: Artikel-dkp.go.id
Penangkapan ikan karang (Reef Fishing) sudah lama menjadi sumber kehidupan jutaan masyarakat nelayan Indonesia. Secara global, produksi ikan karang sudah mencapai 6 metric ton atau 7% dari produksi perikanan dunia (Munro, 1996). Artinya, ikan karang adalah memasukan devisa bagi negara, dan menyediakan kesempatan kerja bagi jutaan nelayan.
Dalam kondisi ideal, hal ini bisa karena: Pertama, dengan bekerja dan mendapatkan hasil tangkapan. Kedua, sifat ikan karang yang cenderung menetap (sedentary) membuat operasi penangkapan relatif lebih mudah.
Awalnya, kegiatan eksploitasi ikan karang ini halnya untuk memenuhi komsusi lokal. Namun sejalan dengan perkembangan kebutuhan yang bervariasi, pengakapan ikan karang tidak hanya lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan protein hewani manusia, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan estetika (ikan hias).
Kenyataan juga membuktikan bahwa mengkomsumsi ikan karang merupakan kebanggaan tersendiri bagi sebahagian masyarakat, baik lokal maupun global. Inilah beberapa kekuatan eksternal yang terus berkembang memberi tekanan sangat serius bagi sumberdaya hingga orang tak lagi pada prinsip keberlanjutan (sustaibality).
Kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan karang seperti itu merupakan fenomena global yang juga terjadi di Indonesia. Akibatnya, jika diteliti sebenarnya sumberdaya ikan karang kita telah mengalami penurunan yang sangat drastis baik jumlah maupun kualitasnya.
Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan pengekspor ikan kerapu terbesar sejak 1993, melampaui Filipina. Namun ini diprediksi hanya berlangsung dalam kurun waktu 5 tahun (Johanes dan Reipen, 1995). Kalau perhitungan Djamali dan Mubarak (1998) benar, tingkat pemanfaatan ikan karang Indonesia sudah mencapai 122%, berarti kita sedang hadapi bencana.
Beberapa Jenis ikan kerapu (Variola albimarginata, Cephalopholis sonnerati dan C.miniata) yang sedang diamati (Mosse, Persobs) dari perairan Kabupaten Kupang makin menunjukan tendensi tangkap ikan ini dengan ukuran separuh dari ukuran maximumnya (3000mm-6000 TL).
Artinya, penangkapan ikan karang sudah melebihi batas tangkap sehingga manajemen penangkapan harus dioptimalkan. Manajemen ini dapat berupa membatasi jumlah tangkap, serta penutupan areal tangkap secara periodik (musim).
Manajemen penangkapan ini tentu harus berdasar pertimbangan sifat biologis ikan karang. Umumnya ikan karang berumur relatif panjang (long lived). Ikan kerapu misalnya ada yang dapat hidup hampir 50 tahun, artinya masa reproduksinya akan menjadi lambat begitu juga laju pertumbuhannya (Mosse,2002).
Sudah dapat diprediksi bahwa kecepatan pembaharuan stok (recruitment) juga akan menjadi lambat. Sifat hermaphroditisme yang kompleks juga menjadikan ikan karang (terutama Kerapu) mudah sekali terganggu populasinya. Jadi dengan memberi kesempatan setiap individu ikan melakukan aktivitas reproduksi minimal satu kali, jumlah populasi akan dapat dipertahankan.
Sebagai contoh, ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) di sepanjang Great Barrier Reef Australia tidak akan dibawa pulang oleh nelayan bila ukurannya di bawah 38 cm sebab pada ukuran ini mulai Berproduksi. Pengaturan penggunaan alat tangkap seperti ukuran mata jaring dan mata pancing harus ditetapkan agar operasi penangkapan lebih selektif. Penutupan areal reproduksi (spawning Ground) perlu ditetapkan khususnya pada musim pemijahan.
Sebenarnya Indonesia telah memiliki perangkat hukum untuk mengatur cara penangkapan yang sustainable, yaitu UU Perikanan No.9/1985. Pasal 3 dan 4 misalnya, jelas mengatur soal penagkapan maksimum yang diperbolehkan. Dalam bahasa manajemen penangkapan kita kenal istilah Total Allowable Catch (TAC).
Dalam pasal 4 point 3 juga telah diatur ukuran ikan yang boleh ditangkap. Otorita manajemen penangkapan ikan karang di Great Barrier Reef Australia sukses karena adanya aturan hukum yang sama. Pertanyaanya, bisakah hal yang sama. Diperlakukan untuk ikan karang Indonesia?. Jawabnya: Bisa, asal ditunjukan kajian ilmiah serta penegakan hukum yang konsisten.
Tapi, mungkin akan ada kendala. Pertama; karena informasi ilmiah tentang karakteristik biologi dan dinamika ikan karang dari perairan kita masih kurang. Kedua; mekanisme penyebaran informasi kepada masyarakat juga sangat terbatas. Oleh sebab itu penyebaran informasi lewat buletin ini sangatlah penting dalm rangka membangun visi bersama mengelola sumberdaya ikan karang Indonesia yang lebih sustainable.
Sumber : Nuansabiru, Edisi 5, Juli-Sept 2004, WWF Indonesia dan Yayasan ULI Peduli